Archive for June 2018
Manusia dan Keadilan
Ilmu Budaya Dasar
Disusun
Oleh:
RAINDECA
DZULIKROM HAQQU (14117910)
1KA16
FAKULTAS
ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN
SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
- Definisi Keadilan dan Hubungannya dengan kemanusiaan
Sebelum saya memulai
penjelasan dan opini saya mengenai manusia dan keadlian, izinkan saya
untuk menjelaskan satu per satu bagian mengenai pokok bahasan ini.
Pertama – tama kita harus mengtahui definisi fundamental tentang
keadilan kemudian mencari korelasinya dengan sisi kemanusian. Setelah
mendapatkan itu kita akan mencari suatu contoh kasus mengenai pokok
bahasan kali ini.
Menurut
Wikipedia.org
keadilan
ialah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut saya, ujung dari keadilan di
sini ialah moral dari suatu permasalahan dan harus diberikan keadilan
sesuai dengan “moral” yang ternodai.
Menurut
Aristoteles bahwa keadilan ialah tindakan yang terletak diantara
memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi apa yang
menjadi haknya.
Menurut
Thomas Hubbes yang menggemukakan bahwa pengertian keadilan ialah
sesuatu perbuatan yang dikatakan adil jika telah didasarkan pada
suatu perjanjian yang telah disepakati.
Serta
dua orang ternama dari indonesia pun mempunyai definisi keadilan
menurut pandangan mereka masing – masing. Sebut saja bapak W.J.S
Poerwadarminto yang menggemukakan bahwa pengertian keadilan ialah
tidak berat sebelah yang artinya seimbang, dan yang sepatutnya tidak
sewenang-wenang. Lalu pengertian menurut Notonegoro yang
menggemukakan bahwa keadilan ialah suatu keadaan yang dikatakan adil
apabila sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bila
disimpulkan secara garis besar, keadilan adalah
suatu kondisi di mana suatu titik “moral” mengalami
ketidakseimbangan sehingga butuh suatu pembelaan yang berlandasaskan
perjanjian dan juga hukum.
Namun,
perlu diketahui bahwa setiap “moral” yang dimaksud adalah terlalu
umum dan luas maknanya. Hal itu menyebabkan definisi keadilan itu
sendiri menjadi terlalu luas.
Andai
kata, satu orang mengatakan bahwa hal itu tidak adil terhadap orang
lain tetepi di mata orang tersebut tindakannya justru merupakan hal
yang paling adil dari seluruh opsi yang ada.
Yang
saya tekankan di sini ialah terkadang keadilan itu sendiri telah atau
mudah terdistorsi dengan kemauan individu setiap orang dan bagai
pisau bermata dua, titik keadilan itu tidak selalu bermuah manis.
Adil sendiri bisa berarti kejahatan yang keras.
Saya
mengutip salah satu dialog tokoh fiksi favorit saya dari serial film
animasi jepang, Code Geass, Lelouch
vi Britannia yang menyamar sebagai Zero.
Dalam suatu pembicaraannya ia menyatakan suatu kalimat paradoks yang
unik.
"When
there is evil in this world that justice cannot defeat, would you
taint your hands with evil to defeat evil? Or would you remain
steadfast and righteous even if it means surrendering to evil?”
Maksud
dari paradoks ini adalah semua pilihan yang kita ambil baik secara
buruk ataupun secara benar pada akhirnya akan berunjung kepada suatu
keburukan yang lain. Lalu
dalam dialog lain Lelouch pun mengutarakan suatu pernyataan yang
sangat pintar.
“If
strength is justice, then is powerlessness a crime?”
Maksudnya
ialah jikalah kekuatan(Hukum dan kebenaran) adalah suatu keadilan,
maka apakah kita yang tidak dapat melakukan apa – apa(rakyat biasa
yang tidak punya kekuatan sama sekali atau pihak yang tidak punya
wewenang atas suatu keadilan yang lain) merupakan suatu kejahatan.
Bedasarkan
dari dua definisi yang bertolak belakang ini dapat dibuat suatu
pernyataan bahwa suatu kedilan ialah moral dan setiap moral belum
tentu sama. Setiap kedilan belum tentu berbau kebenaran karena kadang
apa yang kita rasa buruk ialah keadilan yang sesungguhnya.
- Contoh Kasus Manusia dan Keadilan
Banyak
kasus yang dapat diceritakan dalam permasalahan ini. Saya akan
menggunakan contoh yang sederhana yaitu mengenai masalah mengerjakan
tugas kelompok. Mengapa demikian? Mudahnya karena hal ini sering kita
rasakan terutama bagi kita yang duduk di instansi pendidikan.
Dalam
suatu kasus dilampirkan suatu masalah yang diberikan kepada suatu
kelompok yang terdiri dari 5 orang. Dari lima orang itu memiliki
kebiasaan dan cara kerja masing – masnng. Lalu di dalam kasus yang
diberikan itu hanya ada satu orang yang paham betul masalah itu namun
lainnya benar – benar buta.
Lalu
datanglah penyakit kerja kelompok yaitu numpang titip nama dalam
presentasi. Mudahnya adalah dari kelima orang itu hanya akan bekerja
satu orang yang mengenal materi itu dan sisanya hanya bersandiwara
gurau tanpa mengetahui apa -apa.
Dalam
sisi satu orang ini tentu ia merasa tidak adil karena ia yang capek,
ia yang kerja tapi justru teman – temannya yang enak. Namun jika
dia mengabaikan perasaannya dan bersifat individu maka ia harus
mengorbankan perasaannya dan “moral” dan tentunya mengkhianati
teman – temannya untuk menyatakan kebenaran yang sesungguhnya.
Kasus
sederhana itu jangan pernah dianggap remeh, karena korban mengalami
despresi batin yang dalam terutama bagi pelajar yang sungguh –
sungguh. Dalam hal inilah dapat dikatakan bahwa untuk mencapai
keadilan yang dinginkan terkadang kita akan mengambil suatu tindak
kejatahan yang lebih keras untuk mengalahkan kejahatan itu sendiri.